Kamis, 11 Agustus 2016

Write My Life (Part 3)

Setelah tamat SD, tentu ada jeda liburan dong. Seingatku ada jeda liburan lumayan lama. Tepat pada saat itu adalah waktu ayahku wisuda di Surabaya... Ya, ayahku baru menggelar S1 umur 40 tahun, dulu beliau tidak mampu untuk kuliah dan memilih untuk langsung bekerja hingga bertemu ibu dan menikah.




Aku sempat membolos karena waktunya tidak tepat, aku sudah harus mengikuti MOS SMP sedangkan aku masih di Surabaya, ayahku belum wisuda. Setelah menghubungi pihak sekolah, aku mendapat keringanan dan tidak mengikuti MOS. Bertepatan saat itu juga kami mengantar kakak ke Surabaya untuk sekolah. Karena hal ini otomatis seluruh tanggung jawab kakakku di Mataram seperti membeli lauk, memperbaiki sesuatu, membantu ayah ibu, dll dialihkan kepadaku.

Kami kembali ke Mataram dan tiba pada Sabtu malam. Kami sudah merencanakannya karena agar masih bertemu hari minggu, hari libur untuk beristirahat. Hari senin tiba, aku mulai masuk kuliah. Ketika aku masuk SMP, aku merasa canggung sekali karena tak mengenal apa-apa dari sini. Siapapun orang berseragam seperti guru, aku salami. Sampai akhirnya aku diantar guru BP ke ruang kelasku. Begitu masuk, saat itu tidak ada gurunya, semua menyapaku, dan aku mengatakan tidak ikut MOS karena ke Surabaya mengikuti wisuda ayah, mereka memaklumi. Sekilas aku melihat anak-anaknya baik kepadaku, meskipun aku masih canggung. Sialnya, karena tidak ikut MOS, aku tidak tau menahu soal jadwal di SMP. Saat itu SMP pulang jam 1 siang, sama seperti SD. Bedanya jika SD mendapat istirahat 2x, SMP hanya sekali. Otomatis ketika jam 9 aku keluar untuk makan, namun anehnya sepi sekali, yang keluar hanya aku dan 1 temanku. Temanku sadar dan mengajakku kembali ke kelas, dan ternyata... ada gurunya, kebetulan saat itu guru killer. Kami dihukum untuk berdiri di pojok kelas. Guruku mengampuniku dengan syarat memperkenalkan diriku selengkap mungkin dengan bahasa inggris, karena aku sanggup maka aku diampuni, syukurlah.

Aku 1 kelas dengan temanku SD tapi beda kelas, ku kira anaknya baik, ternyata dia suka membullyku, entah apa yang terjadi setiap saat selalu ada orang yang senang membullyku. Namun di kelas aku dikenal sebagai "anak merantau", karena bicaraku yang medok layaknya orang Jawa, apalagi ketika membaca cerpen, aku dikatakan sangat medok.

Aku awalnya ke sekolah dengan menggunakan ojek, tapi karena ojeknya sering lupa menjemputku, maka diberhentikan dan aku memilih naik sepeda, bukan sepeda motor ya. Jarak dari rumahku ke sekolah 7km jika lewat jalan raya, jika lewat jalan pintas bisa lebih pendek. Jalan pintasnya melalu rintangan perumahan kecil, jalan jalan tikus, offroad, menerobos komplek universitas, hingga tembus ke pertokoan dan sampai ke sekolah. Jika sedang semangat, waktu tempuhnya bisa 45 menit, jika sedang lelah dan panas seperti saat pulang sekolah, bisa 1 jam lebih karena keseringan mampir warung beli minum. Namun itu semua berjalan hingga aku kelas 8 sampai ayahku membelikan motor untuk Ibuku.

Ibu ingin sekali bisa mengantarku dan adikku sekolah. Sehingga setiap sore ayahku mengajari ibu supaya bisa haluan sepeda motor. Oiya, motornya Vario 110cc tahun 2010. Namun semua berhenti saat ibuku tertimpa musibah, entah tak angin atau badai, ibuku terjungkal ketika sedang belajar motor bersama ayahku, ibuku sampai menerobos trotoar yang begitu tingginya dan terjun ke sebuah sungai. Ibu dilarikan ke rumah sakit dan dinyatakan patah tulang di tangan kiri. Ayahku tidak cedera sama sekali. Sejak saat itu ibu tidak berani naik motor lagi hingga sekarang. Ayahku memfokuskan aku agar bisa naik motor, sehingga aku diajari. Karena kau sudah terbiasa menerjang rintangan ekstrim ketika naik sepeda, aku tidak merasa canggung ketika naik motor. Aku dinyatakan lulus dan dibolehkan membawa motor ke sekolah, padahal aku belum punya SIM, hehehe.

Karena aku sudah naik motor, aku selalu memantau berita apakah hari itu ada razia atau tidak, karena aku belum punya SIM. Jika ada kabar razia, aku memilih naik sepeda begitu seterusnya. Biasanya aku memakirkan motorku di rumah belakang sekolah dan membayar upah parkir, aku lupa nominalnya, jika tidak salah Rp 5000, mahal sekali tapi sepandan dengan harga segelas es degan yang biasa aku beli ketika naik sepeda.

Tidak ada yang istimewa setelah itu, biasa saja... maksudnya terbiasa dibully, hingga suatu ketika aku diberi kabar oleh orang tuaku. Aku akan dikirim ke Surabaya di pertengahan kelas 8. Senang sih, karena akan kembali ke kampung halaman. Tapi sedih juga, karena semakin dekat harinya, ibuku semakin berat melepasku, hingga pernah menangis karena aku esok akan dikirim ke Surabaya.

Aku dikirim ke Surabaya dengan pesawat, ibu dan adikku ikut. Ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat, meskipun pesawat kecil, tapi aku sudah bisa melihat awan dari atas, bukan dari bawah lagi. Aku akan didaftarkan masuk SMPN 1 Surabaya, untuk selanjutnya akan saya sebut Spensabaya. Untuk sementara aku tinggal di sebuah kontrakan sederhana bersama kakak dan mbah Tun di Kureksari, Sidoarjo.

Aku menunggu kabar hasil seleksiku sekitar 2 minggu. Hingga pada suatu pagi, ayahku menelpon ibu, tiba tiba ibu masuk kamarku dan memelukku, aku dinyatakan lolos seleksi. 1 minggu kemudian aku diajak berkunjung ke sekolah dan melihat suasananya, memang tidak semegah SMPN 2 Mataram, namun aku yakin disini pasti lebih baik.

Hingga pada saat masuk sekolah, aku sudah mengenakan seragam ala Spensabaya di hari selasa. Seperti biasa aku merasa canggung, aku masuk kelas dan disambut dengan kata "Haiii", serius malu sekali. Aku duduk disamping anak cowok yang berpostur agak besar, namanya Trendys. Dia menjadi orang yang pertama kali aku kenal di Spensabaya. Untuk selanjutnya ada Barik dan Ave yang hingga sekarang aku masih berkomunikasi baik dengan mereka. Barik anaknya sangat sholeh dan jenius, tapi tidak terbawa serius. Ave anaknya suka main game strategi yang mengasah otak. Disini aku tidak merasa asing lagi karena mereka semua bicaranya medok. Mereka semua sangat pintar bahkan aku tertinggal jauh dengan mereka karena aku membawa "set memory" dari Mataram, jadi butuh adaptasi. Tapi aku tidak pernah minder dengan bakatku, aku bahkan sampai membuka bisnis untuk menjual design webku ke teman temanku sebagai tugas, hehehe.


Singkat saja, pergaulan di Surabaya memang agak rawan, namun kesenjangan sosialnya baik, aku tidak pernah dibully disini. Aku menjalani masa SMPku sampai aku akan lulus. Aku lulus dengan nilai UN yang bisa dibilang agak mengecewakan, 33,70, rendah sekali di zamanku, bahkan untuk aku daftar SMA Negeri saja tidak bisa. Padahal aku yakin sekali aku bisa mengerjakan UN dengan baik dan sudah diperiksa bersama, ya mungkin aku kurang berdoa. Jadi dengan pertimbangan teman-teman dan doa, aku masuk SMA Trimurti Surabaya.

To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tour Museum Tugu Pahlawan Surabaya | Arti Sebuah Sejarah

" Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya " Begitulah kalimat yang sering kita dengar pada setiap ...