Selama masih dalam kandungan, seperti biasa, ibu hamil akan selalu mengidamkan sesuatu, yang umum adalah makanan, namun aku tidak. Saat itu ibu hanya ngidam tidur di kost nenek dari ibuku (aku sekarang memanggilnya "mbah Tun"), kebetulan kakek dari ibuku (aku memanggilnya "mbah Di") sudah meninggal sejak ibuku duduk di bangku SD, sehingga memaksa ibuku untuk putus sekolah saat itu juga. Jika selain dari kasur nenekku, ibu tidak bisa tidur, bahkan ayah sampai rela menemani ibu tidur dengan beralaskan tikar diatas lantai tanah, karena kondisi ekonomi keluargaku dulu lumayan buruk. Pada saat berumur 7 bulan, orang tuaku memeriksaku ke dokter untuk cek jenis kelaminku, aku dinyatakan... perempuan! Dari sisi ibu, ibu amat sangat senang karena akan memiliki anak perempuan, karena kakakku adalah laki-laki, namun dari sisi ayah tidak, ayah justru sebaliknya, mengiginkan anak laki-laki, karena ayahku sudah merencanakan nama yang akan diberikan kepadaku untuk anak laki-laki, "Gandadi Putra". Namun ayahku tetep bersyukur. Efeknya, ayah membelikan segala macam persiapan kedatanganku ke dunia dengan segala hal yang bertemakan "wanita", termasuk baju, kurungan apalah itu, sarung tangan, kaos kaki, dll, semuanya putih dan pink, ada yang kuning juga, sangat tidak maco.
Setelah lama tinggal di kost mbah Tun, ayah membawa pulang ibu ke tempat yang seharusnya, ke rumah sendiri. Kebetulan rumahku berdekatan sekali dengan nenek dari ayahku (aku sekarang memanggilnya "mbah Dok"), masih ada kakek dari ayahku (aku memanggilnya "mbah Nang"). Namun ketika tiba di rumah, baru keluar taksi, ibuku langsung sakit perut dan lari ke Rumah Sakit Islam Surabaya (sebelah Madrasah Kodhijah). Aku lahir ketika berumur 8 bulan lebih beberapa hari, 16 desember 1996 jam 12 siang setelah adzan dhuhur. Aku terlahir laki-laki, dan itu hal yang mengejutkan bagi ibu. Menurut cerita ibu, aku lahir dengan tinggi badan paling pendek dibanding kakak dan adikku, jika kakak dan adikku lahir dengan tinggi 50cm, aku lahir dengan tinggi 48cm. Aku terlahir dengan mata sipit, rambut yang ngejoss, dan berkulit putih, Alhamdulillah. Namun keadaanku mengenaskan saat itu. Aku tidak diberi susu sebagaimana semestinya karena ASI ibu belum keluar juga, dan aku dimandikan di atas wastafel. Ayahku mengira RS saat itu tidak memiliki stok susu, akhirnya ayahku rela membeli beberapa kaleng susu, namun RS menolak, karena sudah ketentuan dari RSnya. Melihat kondisiku, ibu tidak tega melihatku, akhirnya ayahku memulangkan paksa aku dan ibu ketika masih rawat jalan 2 hari. Aku dan ibu dibawa ayah ke RKZ Surabaya, aku dinyatakan dehidrasi dan langsung diberikan susu yang dibeli ayahku saat itu, ibuku juga mendapatkan perawatan sedikit di RS itu.
Kiri aku, Kanan kakakku
Mungkin sejak kecil aku terlahir sebagai anak yang introvet, lebih menutup diri. Ibuku bercerita ketika aku kecil aku tidak pernah menangis sampai membuat tetangga bangun dari hibernasinya. Ketika aku merasa tidak enak, aku hanya merengek kecil, seketika ibu dan ayah langsung menenangkanku bagaimanapun caranya, 'dipuk-puk', atau 'diesek-esek', atau 'dielus-elus', sampai sampai (sedikit jorok, skip paragraf ini jika tidak kuat) ketika aku poop, aku tidak menyadarinya, yang sadar malah ibu mencium bau bau tidak enak dari arahku, ketika dilihat, ternyata poopku sudah kering hingga ke punggung. Seketika mbah-mbahku berkata "yo enak mama ne rek, tuwuk turu e (ya enak ibunya, nyenyak tidurnya". Karena kakakku saat kecil juga dikenal dengan anak yang susah tidur, sampai sampai ibu seperti tulang dan kulit berjalan saking nakalnya kakakku.
Setiap pagi, mbah nang selalu mengajakku jalan-jalan keliling gang, menurut cerita ayahku, sambil iya pamer menunjukkan cucunya yang ketiga. Terus beliau lakukan sampai ia meninggal. Setiap ada tetangga yang melihat selalu mengiraku bayi perempuan, "aduh cantiknya", "bukan bu, ini lakilaki", "eh tapi cantik banget, bibirnya cewek lho", ya begitulah.
Menginjak umur 7 bulan, aku diturunkan Tuhan penyakit untuk menguji orang tuaku. Aku merengek semalaman, bahkan ketika orang tuaku sudah kehabisan akal, aku mulai menangis dengan keras. Ayahku mengira aku sedang diganggu makhluk halus, ayah menyelentik telapak kakiku dengan harapan makhluknya keluar, namun aku menangis semakin keras. Ayah memutuskan membawaku ke rumah sakit karang menjangan (RS Doktor Soetomo). Buruknya, ketika dicek kesehatan, terpaksa aku harus diinfus, namun cairan infusnya tidak masuk, bahkan darahku tidak keluar, tim dokter disana sampai saling bergotong royong merawatku, diputuskukan, aku diinfus melalui kepala, benar melalui kepala entah bagian mana, ibu tidak menceritakan detailnya. Ibu hanya bisa lemas, menangis, bahkan pingsan melihatku, ayah dan mbah nang sampai marah-marah melihatku. Aku lupa selang berapa hari aku dinyatakan terkena paru-paru basah. Oleh dokter cairannya diambil melalui suntik yang ditusuk ke tulang belakangku. pada saat itu aku mulai bisa tertawa lagi, dan semua mulai terharu, menangis, bisa melihat tawaku kembali. Ada hal lain yang membuat ibu takut. Sebelah kamarku adalah ruang UGD, menurut ceritanya, setiap hari selalu ada yang menangis dari ruangan itu karena keluarganya dinyatakan meninggal, ibu selalu mendapati pemandangan itu hingga jenazahnya ditutupi selimut.
Menginjak umur 1 tahun, aku mulai memahami beberapa hal, termasuk ulang tahun. Aku ingin ulang tahunku dirayakan seperti yang dilakukan tetangga tetanggaku, namun aku sama sekali tidak mengetahui kalau ekonomi orang tuaku sangat sulit. Namun mereka tetap mengabulkan permintaanku. Kakakku pernah bercerita kalau ia sebagai menerima tamu dan yang memberi picisan ke tamu, entahlah aku tidak tau bagaimana prosesnya.
Di atas umur 1 tahun, aku mulai menunjukkan kenakalan. Aku dikenal salalu menghabiskan uang orang tuaku. Aku selalu meminta dibelikan mainan kemanapun aku diajak pergi, bahkan pernah ibu gagal belanja karena menurutiku membelikan mainan. Lho, kenapa diturutin? Karena kalo gak diturutin, aku selalu menangis dan memegang apapun yang didekatku dan tak akan pernah melepaskannya termasuk kaki atau celana orang, tapi paling sering tiang besi. Bersyukur orang tuaku tidak pernah kasar, aku selalu dituruti dengan harapan aku berhenti menangis. Sempat jengkel, orang tuaku menakutiku akan meninggalkan aku di pasar saat itu, namun kakakku mengasihani aku "mama adek jangan ditinggal ma", kakak yang baik. Puncaknya adalah ketika aku berumur 2 tahun, karena terlalu sering, dan saat itu uang orang tuaku benar-benar habis, aku meminta mainan yang lewat depan rumah sambil menangis kencang. Ayahku jengkel dan menghukumku dengan dijungkir di atas bak mandi, ibu dan mbah nang memarahi ayahku, takut aku terjadi apa-apa denganku. Badan ku panas seketika. Mulai saat itu aku tidak pernah minta mainan ketika ada ayahku, dan aku mulai takut dengan ayah, bahkan untuk pamintan pergi kerja, aku selalu menghindari salaman beliau dan pergi ke ibuku. Ibuku bilang "Kapok!", hehehe.
Kabar duka muncul, mbah nang meninggal dikarenakan penyakit saluran kencing menurut cerita. Namun aku merasakan kehadirannya. Saat aku menonton TV, setiap selesai adzan maghrib, mbah nang selalu mengajakku ke masjid, bahkan ketika saat beberapa hari setelah sepeninggalan beliau, aku melihat kearah keluar jendela, dan aku berteriak "mbah! mbah!" sampai aku berlari keluar rumah, ibuku sadar aku keluar rumah dan berteriak memanggil mbahku di perempatan jalan, ibuku menenangkanku dan mengajakku berbicara saat di dalam rumah, aku berkata mbah nang menggunakan sarung seperti biasa dangan baju koko berwarna putih, lengkap dengan kopiah berjalan berbelok ke kiri (menuju arah masjid). Cerita ini menyebar hingga ke pelosok keluargaku.
Kabar duka tidak hanya sampai disitu, ibuku mengalami cekcok dengan keluarga ayahku, karena saat itu ayahku bertugas di NTT dan lama sekali tidak pulang-pulang, bahkan ayahku tidak sempat menelpon keluarga hingga timbul miss komunikasi antara ibu dan saudara saudaranya ayah. Ibuku merasa tersakiti dan meminta ikut dengan ayah. Ayah memboyong kami semua ke Mataram, NTB ketika aku berumur 4 tahun. Hingga aku bersekolah dan menjalani hidup disana selama 10 tahun...
To be continue...
referensi, cerita dari ayah, ibu, kakak, dan mbah Tun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar