"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya"
Begitulah kalimat yang sering kita dengar pada setiap
upacara bendera ketika sekolah, atau ketika pelajaran sejarah. Kalimat yang
dilontarkan oleh Ir. Soekarno selaku bapak proklamator Indonesia bukanlah hanya
sebuah hiasan dinding. Bukan juga sebuah kalimat yang kosong akan makna.
Pernahkah kita berfikir bahwa setiap perkataan seseorang yang berjiwa besar
merupakan kalimat yang sarat akan makna? Apakah sebenarnya arti dari
"bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya"?
Tentu saja Ir. Soekarno bukanlah orang biasa, namun sama seperti kita, memiliki
dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, juga memiliki waktu 24 jam dalam
sehari, namun telah memberi perubahan besar bagi negara Indonesia. Pada suatu
kesempatan, kita akan diperkenalkan pada salah satu museum yang ada di
Surabaya, yakni Museum Tugu Pahlawan yang apabila dimaknai akan memberikan
sebuah cerita tentang jalannya perjuangan arek-arek Suroboyo dalam
melawan sebuah ketertindasan.
Tugu Pahlawan Surabaya
Dari namanya "Tugu Pahlawan", sekilas kita akan memaknainya
dengan sebuah monumen untuk mengenang jasa para pahlawan. Tapi lebih dari itu,
tugu yang dirancang oleh Ir. Tan pada tahun 1952 ini merupakan tugu peringatan
akan perjuangan arek-arek Suroboyo pada tanggal 10 November
1945 yang sampai saat ini diperingati sebagai hari pahlawan. Memiliki luasan
seluas 1,3 hektar dan berada di jantung Kota Surabaya. Pada bagian depan Tugu
Pahlawan terdapat sebuah lapangan yang sangat luas, kira-kira tiga–per-empat
seukuran lapangan sepak bola. Lapangan ini pada hari-hari tertentu dijadikan
sebagai tempat parade. Pada bagian sisi dalam terdapat jalan setapak. Dibalik
sebuah tugu putih nan kokoh ini terdapat sebuah museum. Museum tersebut masih
memiliki hubungan erat dengan Tugu Pahlawan sendiri, menyimpan banyak peninggalan
pada masa peperangan dan tentu saja cerita cerita dibalik itu. Di sekitar
museum juga terdapat makam yang merupakan makam dari pahlawan gugur yang tidak
diketahui identitasnya. Tugu Pahlawan memiliki lahan parkir yang terletak pada
bagian selatan dan terbilang cukup untuk menampung para pengunjung, bahkan
masih cukup untuk dimuati 3 bus pariwisata beserta belasan mobil. Tidak
melupakan cirinya sebagai kota metropolitan yang hijau, lingkungan di sekitar
Tugu Pahlawan dibuat asri dengan adanya beberapa tanaman hias, rumput hijau,
dan beberapa pohon tropis seperti pohon palm yang berhasil menghiasi lingkungan
Tugu Pahlawan menjadi lebih indah.
Salah Satu Sudut Luar Museum Tugu Pahlawan
Secara arsitektural, museum ini sepertinya akan mengingatkan kita pada Museum Louvre di Paris yang memiliki museum berada di bawah tanah. Dengan sentuhan modernisasi, museum ini lebih memberi kedekatan pada kalangan anak-anak muda. Pada bagian belakang museum ini memiliki 3 buah piramid kaca yang sekali lagi mengingatkan kita pada museum Louvre di Paris. Sekedar informasi, museum ini dulunya adalah alun-alun Surabaya. Oleh orang-orang Jepang pada saat itu dijadikan sebuah gedung peradilan yang kemudian dihancurkan oleh warga Surabaya sebagai bentuk perlawanan. Museum ini terakhir kali diperbarui pada tahun 2012.
Masuk ke dalam ruang entry museum, kita akan menemui sebuah loket. Untuk masuk ke dalam museum, anda diwajibkan merogoh kocek sebesar Rp 5000 saja (Juli 2018). Namun beruntung bagian anda yang pelajar atau mahasiswa, dengan menunjukkan kartu mahasiswa atau pelajar saja anda sudah boleh masuk secara gratis. Kali ini kami akan ditemani oleh seorang tour guide yang selanjutnya akan menerangkan kepada rombongan tentang apa saja yang ada di dalam museum Tugu Pahlawan. Ketika masuk ke dalam interior museum, anda akan dibawa masuk ke bawah bangunan. Mirip bukan dengan Museum Louvre di Paris? Pada sekitaran dinding tangga menuju bawah, anda akan melihat pahatan kayu berupa ilustrasi yang menggambarkan sebuah peperangan yang terjadi di Kota Surabaya pada saat itu. Ingat ya, jangan menyentuh koleksi tersebut demi kemurnian sebuah sejarah agar anak cucu kelak dapat melihatnya persis seperti yang kita lihat.
Pahatan Kayu pada Tangga Turun
Lorong Bawah Menuju Museum
Apabila sudah berada pada dasar museum, maka rasa kagum dari dalam diri tidak dapat terbendung. Museum Tugu Pahlawan memiliki gaya arsitektur yang cukup nyentrik, bahkan ketika rombongan tiba dibagian dasar museum, mereka langsung memuji arsitekturnya dan menjepret pada beberapa spot museum. Pada bagian dasar museum ini dikelilingi oleh kolam ikan yang sayangnya tidak terdapat air mancurnya, atau mungkin air mancurnya pada saat itu tidak menyala. Sangat disayangkan. Tentu saja sebagai kolam ikan maka penghuninya adalah ikan, tepatnya adalah ikan Nila. Entah apa alasan pengelola museum lebih memilih ikan Nila dibandingkan ikan Koi, rasanya ikan Koi memiliki nilai keindahan yang lebih tinggi. Mungkin agar lebih merakyat.
Lantai Dasar Museum dan Kolam Ikan
Sebelum masuk ke dalam museum, terdapat sebuah miniatur maket yang
menggambarkan denah Tugu Pahlawan apabila dilihat dari atas. Masuk ke dalam
museum, kita langsung dapat melihat sebuah diorama besar yang terletak di
atrium museum. Museum ini memiliki 2 lantai dan terlihat dari dalam bahwa
museum ini berbentuk piramid mengikuti bentuk eksteriornya. Memiliki beberapa
koleksi peninggalan sejarah yang berkaitan dengan peperangan 10 November dan
memiliki banyak informasi teks dalam beberapa bahasa (terutama bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris). Pada lantai 1 segala informasi terpampang sesuai dengan
alur waktunya, mulai dari sebelum kemerdekaan hingga setelah kejadian 10
November. Bahkan beberapa informasi mengejutkan dapat kita temui, seperti pilar
pilar reruntuhan yang ada di depan gerbang Tugu Pahlawan hanyalah sebuah
replika (pada awalnya saya mngitu itu reruntuhan asli), juga awalnya Tugu
Pahlawan merupakan sebuah lahan perkebunan, yang kemudian dijadikan bangunan
administrasi untuk kepentingan kolonial Jepang, yang pada akhirnya di runtuhkan
oleh arek-arek Suroboyo dan dijadikan menjadi museum.
Diorama Museum Tugu Pahlawan
Selain itu terdapat juga sebuah rekaman (yang sudah mengalami remastering) yang berisikan pidato Bung Tomo yang pada saat itu disiarkan di radio, dilengkapi juga dengan teks dalam beberapa bahasa untuk mempermudah turis asing memaknai isi rekaman. Hal yang menurut saya cukup mengagumkan adalah beberapa koleksi seragam dan senjata asli maupun replika yang ada di museum, dapat memberikan gambaran kepada pengunjung akan kondisi pada saat itu. Bahkan ada koleksi bambu runcing asli yang merupakan senjata terkenal sampai dijadikan sebuah Tugu. Bambu runcing sejatinya merupakan alat-alat rumah tangga yang terdapat di pekarangan rumah pada saat itu, karena kondisi masyarakat saat itu tidak semua memiliki senjata, bambu dari pagar rumah maupun gudang dijadikan sebagai senjata. Di lantai 1 ini juga terdapat ruangan seperti ruangan teater yang difungsikan sebagai ruanagn pemutar diorama digital. Ya, seperti terdapat hologram layaknya film-film Hollywood, namun sayang sekali pada saat saya datang belum bisa masuk.
Salah Satu Sudut Ruangan yang Terdapat Rekaman Bung Tomo
Naik ke lantai 2 dapat ditempuh dengan 2 cara, naik dengan tangga biasa atau dengan lift. Penggunaan lift ini bukan sebuah kemubaziran, karena sangat membantu bagi disabilitas. Di lantai 2, masih terdapat peninggalan barang-barang pada masa peperangan, seperti senjata, granat, senter kuno, bambu runcung, dan beberapa teks kuno yang masih dalam bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Terdapat juga ruangan untuk beberapa diorama kecil yang berisikan display dan speaker, memiliki tema yang sama, yaitu cerita tentang seputar perlawanan 10 November, baik cerita cerita secara diplomat maupun peperangan langsung. Diorama ini sangat informatif karena dilengkapi dengan teks berbahasa asing, seperti bahasa Mandarin, bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan lainnya, namun tetap dengan audio Bahasa Indonesia. Ketika sudah puas dengan koleksi dan informasi yang ada di museum, pengunjung akan menemukan tempat penjualan merchandise dari museum dan tentu saja barangnya original. Terakhir setelah keluar dari museum, pengujung akan menemukan kantin, bermanfaat untuk melepas dahaga dan lapar.
Dengan segala fasilitas modern yang diberikan Museum Tugu Pahlawan seperti Air Conditioner, lampu sorot, layar dengan gambar bergerak, dan proyeksi 3 dimensi sepertinya sudah cukup membuat pengunjung merasa nyaman. Namun bukan berarti Museum Tugu Pahlawan tidak lepas dari kekurangan. Sepertinya saya sedikit sulit untuk menemukan tempat duduk di dalam museum, terutama pada lantai 2, saya sama sekali tiak menemukan tempat duduk, sedikit disayangkan mengingat tempat duduk akan dibutuhkan oleh orang-orang yang berusia lanjut. Kolam ikan di sekeliling museum juga terlihat kurang jernih. Tentu saja bukan kesalahan yang besar.
Salah Satu Sudut Lantai 2
Sebagai penutupan, apakah museum ini berhasil untuk mewujudkan tujuannya sebagai museum sejarah 10 November? Tujuan inti dari museum ini adalah memberikan pengetahuan atau informasi akan peristiwa peperangan arek-arek Suroboyo pada tanggal 10 November 1945, dan museum ini bias dikatakan berhasil menerapkannya. Museum ini memberikan alur cerita kepada pengunjung secara berurutan dengan penyaluran informasi melalu tekstual, audio, dan visual serta dibantu dengan adanya tour guide, sehingga informasi yang didapatkan akan lebih maksimal. Kini saya mengerti mengapa Bung Karno mengatakan “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”, melihat bagaimana perjuangan orang-orang terdahulu mengorbankan segalanya demi melawan ketertindasan, mendapatkan kemerdekaan, dan dapat mengibarkan bendera Merah Putih. Jika dibandingkan dengan hari ini dimana kebanyakan orang bahkan takut dengan sengatan matahari. Perjuangan yang mereka lakukan bukan hanya untuk mereka saja, tapi juga untuk keluarga hingga keturunan mereka, mereka berharap agar anak cucunya tidak merasakan apa yang mereka rasakan.
mantab! teruskan menulis bung!
BalasHapusTerima kasih :D
Hapus